Mobil dan gensisosial

Kesenangan itu mahal. Ungkapan itu pas untuk merepresentasikan kegilaan para kolektor lukisan maupun mobil. Bayangkan saja, hanya untuk bisa mendapatkan lukisan maupun mobil yang disukainya, seorang kolektor rela merogoh koceknya ratusan juta rupiah, bahkan miliaran rupiah.


Bagi sebagian kalangan, mobil tidak hanya fungsional, tetapi lebih bicara soal status dan penampilan. Jati diri seseorang kadang dilihat dari mobil yang dikendarainya. Mobil bukan perkara individual, tetapi bermakna sosial.

M
obil boleh jadi memang penting terutama bagi mereka yang bergerak di sektor bisnis misalnya saat bertemu mitra bisnis atau menghadiri suatu acara atau event.

Mobil sebagai bagian dari lingkaran interaksi sosial di akui oleh para pengusaha, menurut mereka, mobil yang digunakan harus menunjukkan performance dan terlihat eksklusif. Penampilan memang perlu diperhatikan tatkala berinteraksi dengan mitra bisnis atau kalangan eksekutif. Karena kualitas penampilan menjadi bagian identifikasi diri.

Masyarakat Indonesia umumnya masih memandang orang dari mobilnya. Siapa pun dia dan apa pun jabatannya, jika tidak memiliki kendaraan mewah dan berkelas, sama sekali tidak dipandang. Karena itu, mobil mewah yang dipakai pejabat atau pengusaha tidak dilihat dari fungsinya, tetapi nilai gengsinya.

Pengekpresian diri orang-orang berduit atau kaya dengan memiliki mobil bagus dan mewah ini memang sesuatu yang sudah diramalkan sebelumnya oleh pakar futuristik Alfin Toffler dalam konteks etnik atau suku bangsa zaman modern dalam ranah new tribe (suku bangsa modern).
Kelompok penggemar mobil baru, kelompok penggemar sepeda onthel ataupun kelompok penggemar lukisan di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya adalah puak-puak baru pada zaman modern dalam ranah new tribe.

Komentar